Related Posts with Thumbnails

Soekarno

Senin, 08 Maret 2010

Photobucket

Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali [1].

Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).

Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.

Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.

Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.

Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.

Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Soekarno diantara Pemimpin Dunia

Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.

Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.

Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.

Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.

Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.

Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.

Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.

Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.

Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.
Photobucket
Photobucket
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Photobucket
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Soekarno dan John F Kennedy

Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Soekarno dan Jawaharlal Nehru

Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).

Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Photobucket
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno.

Pada tanggal 19 Juni 2008, Pemerintah Kuba menerbitkan perangko yang bergambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro. Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan "kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba".
Photobucket

Nama lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo. Ketika masih kecil, karena sering sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang Jawa oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno. Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah.
Photobucket
Sebutan akrab untuk Ir. Soekarno adalah Bung Karno.
[sunting] Achmed Soekarno

Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia bahasa Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark, bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol.

Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji.

Dan dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.





Read more...

Peran Etnis Tionghoa dalam Perjuangan Bangsa Indonesia

Photobucket

Kalau kita perhatikan sejarah Indonesia dengan benar, maka setiap gerakan perjuangan bangsa Indonesia yang penting, pasti ada komunitas Tionghoa yang ikut serta atau terlibat dengan gerakan itu. Ambilah Sumpah Pemuda tahun '28 itu, sekalipun hanya sebagai peninjau, ternyata juga ada 4 pemuda golongan Timur Asing Tionghoa menghadiri Kongres Pemuda yaitu Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok & Tjio Djien Kwie.

Dimasa awal kemerdekaan, Didalam BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia), yang dipimpin oleh Bung Tomo, kita juga bisa melihat adanya pemuda Tionghoa yang ikut aktif, seperti Gam Hian Tjong dan Auwyang Tjoe Tek. Dan menurut keterangan, Auwyang Tjoe Tek didalam PBRI termasuk ahli membikin peluru, pengalaman yang didapatnya semasa ikut perjuangan bersenjata di Tiongkok. Sedang didalam Laskar Merah ketika itu, juga terdapat pemuda Tionghoa, pemain sepakbola terkenal - The Djoe Eng.


KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) pertama, ternyata juga mengikut sertakan wakil peranakan Tionghoa, Drs. Yap Tjwan Bing dan Liem Koen Hian. Kemudian ditambah lagi 2 orang peranakan Tionghoa, yaitu Tan Ling Djie dan Inyo Beng Goat. Sedang Tan Ling Djie dalam sidang KNIP kedua, dipilih sebagai anggota Badan Pekerja. Dan menjelang sidang KNIP di Solo, jumlah anggota KNIP ditambah lagi seorang peranakan Tionghoa, yaitu Siauw Giok Tjhan.

Kemudian, menjelang sidang KNIP di Malang untuk mengesahkan Perjanjian Linggarjati, ditambah lagi 2 orang peranakan Tionghoa, yaitu Dr. Oey Hway Kim dan Ir. Tan Boen An. Disamping itu, masih ada peranakan Tionghoa yang mewakili partai politik, misalnya Oei Gee Hwat sebagai wakil Partai Sosialis dan Lauw King Hoo sebagai wakil Partai Komunis Indonesia.

Dalam zaman Soekarno terdapat tiga menteri Tionghoa, yakni Tan Kim Liong (Menteri Urusan Pendapatan, pembiayaan, dan Pengawasan), Oei Tjoe Tat (Menteri Negara; anggota Partindo), dan David G Cheng (Menteri Cipta Karya dan Konstruksi). Dalam Demokrasi Liberal sekurang- kurangnya terdapat dua menteri Tionghoa: Ong Eng Die (Menteri Keuangan; anggota PNI) dan Lie Kiat Teng (Menteri Kesehatan; anggota PSII).

Baru dijaman Orba, dimana etnis Tionghoa tidak diberi kesempatan berkecimpung dibidang politik selama 32 tahun lebih itulah, tak seroang etnis Tionghoa bisa duduk sebagai Menteri, kecuali dibulan-bulan terakhir menjelang runtuhnya disnati Orba, Mohammad Bob Hasan dinobatkan sebagai satu-satunya Menteri etnis Tionghoa yang bernama Ther Kian Sheng. Presiden Soeharto hanya menggunakan etnis Tionghoa yang secara faktual berpengalaman dalam perdagangan, diberi kesempatan berkembang dengan segala fasilitas disamping melahirkan konglomerat-konglomerat monopoli, jelas menjadi kroni-kroni "hewan ekonomi", sapi perahan yang menggendutkan keluarga Cendana. Etnis Tionghoa digiring memasuki wilayah bisnis semata, tanpa kesempatan ikut memasuki wilayah lainnya. Etnis Tionghoa dilarang baik secara eksplisit maupun implisit (baca ditakut-takuti) untuk memasuki wilayah politik dan dipersulit untuk menjadi pegawai negeri maupun militer.

Menghadapi Pemilu 2004, partai-partai politik berbasis Tionghoa mengalami kegagalan total. Sekalipun tidak satu partai pun yang berhasil lolos persyaratan Departemen Hukum dan Ham maupun verfikasi faktual KPU dan berhak mengikuti Pemilu. Ribuan simpatisan maupun kader-kader di berbagai daerah yang selama berbulan-bulan membanting tulang dan menghimpun dana, menyiapkan diri untuk turut serta dalam Pemilu 2004. Ironisnya dengan tidak ada rasa tanggung jawab sedikitpun pimpinan partai-partai tersebut dengan cepat menjadi kutu loncat dan berpindah menjadi caleg partai lainnya, meninggalkan para kader maupun simpatisannya dalam kebingungan dan kekecewaan. Tetapi berdasarkan penelitian beberapa koran berbahasa Tionghoa, ada 92 orang caleg DPR-RI yang berasal dari etnis Tionghoa yang tersebar dalam berbagai partai politik kontestan Pemilu yad, belum lagi caleg-caleg untuk DPRD. Entah mereka direkrut untuk dijadikan vote getter atau untuk penggalangan dana partai, tetapi hal ini membuktikan bahwa ada kemajuan dalam kehidupan berpolitik etnis Tionghoa. Demikian juga terdapat ratusan orang Tionghoa di seluruh Indonesia yang telah mendaftarkan diri untuk ikut dalam pemilihan DPD.

Jadi, seandainya etnis Tionghoa diperlakukan sama dengan warganegara Indonesia pada umumnya, diberi kesempatan sama untuk bergerak juga dibidang politik, diperbolehkan memasuki setiap badan pemerintahan, dari kecamatan di desa-desa sampai pada kementerian di pusat pemerintahan, saya yakin pada satu saat diantara mereka juga akan muncul orang-orang yang berkemampuan dan bisa diandalkan untuk memimpin negara ini dengan sebaik-baiknya. Tidak perlu diragukan lagi bahwa etnis Tionghoa mempunyai potensi yang dapat diandalkan di negara ini. Dengan jumlah yang lumayan besar, mereka dapat memainkan peranan yang cukup signifikan dalam memajukan bangsa dan negara. Pada umumnya mereka yang etnis Tionghoa berpendidikan tinggi dan mempunyai etos kerja yang terkenal rajin dan ulet serta mempunyai jaringan kerja yang rapi. Akan menunjukkan keunggulannya tersendiri sebagai Indonesia yang etnis Tionghoa didalam sumbangannya membangun negara ini.

Tidak lagi hanya dalam mimpi, tapi menjadi kenyataan. Mereka-mereka yang etnis Tionghoa akan berperan sama sebagai warganegara Indonesia.






Read more...

Biografi Bung Tomo

Photobucket
Sutomo (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 – meninggal di Padang Arafah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun)[1] lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo, adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura. Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.

Masa muda
Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.

Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia.

Perjuangan
Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia berusaha membangkitkan semangat rakyat sementara Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi, "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"

Meskipun Indonesia kalah dalam pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Indonesia.

Setelah kemerdekaan
etelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950-an, namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung politik. Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.Photobucket

Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia.

Namun pada awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto sehinga pada 11 April 1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras. Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Meskipun semangatnya tidak hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal.

Ia masih tetap berminat terhadap masalah-masalah politik, namun ia tidak pernah mengangkat-angkat peranannya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia sangat dekat dengan keluarga dan anak-anaknya, dan ia berusaha keras agar kelima anaknya berhasil dalam pendidikannya.

Sutomo sangat bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya, namun tidak menganggap dirinya sebagai seorang Muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama. Pada 7 Oktober 1981 ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.

Gelar Pahlawan Nasional

Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung tomo pada 9 November 2007.[2] Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta.





Read more...

KH Ahmad Dahlan (1868-1923)

Photobucket

BIODATA

Nama: KH Ahmad Dahlan

Nama Kecil: Muhammad Darwisy

Lahir: Yogyakarta, 1 Agustus 1868

Meninggal: Yogyakarta, 23 Februari 1923

Agama: Islam

Isteri:
- Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah, dikaruniai enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah).
- Nyai Abdullah, janda H. Abdullah
- Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak
- Ibu Nyai Aisyah (dikarunia satu anak)
- Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta

Ayah:
KH Abu Bakar
Ibu:
Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim)
Saudara:
Tujuh bersaudara

Pendidikan:
- Pesantren, Yaogyakarta, agama dan bahasa Arab, sampai 1883
- Menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah, 1883-1888, dari pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah
- Memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah, 1902-1904

Karir:
- Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta
- Khatib Masjid Besar Yogyakarta
- Guru Agama Islam di OSVIA Magelang dan Kweekschool Jetis Yogyakarta.
- Pendiri sekolah guru Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah)

Organisasi:
- Pendiri Persyarikatan Muhammadiyah
- Aktif di Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Penghargaan:
Pahlawan Nasional (Surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961).

Sumber:
Muhammadiyah.or.id






Read more...

KH Ahmad Dahlan (1868-1923) Pendiri Muhammadiyah

Photobucket

Ahmad Dahlan (bernama kecil Muhammad Darwisy), adalah pelopor dan bapak pembaharuan Islam. Kyai Haji kelahiran Yogyakarta, 1 Agustus 1868, inilah yang mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 18 November 1912. Pahlawan Nasional Indonesia ini wafat pada usia 54 tahun di Yogyakarta, 23 Februari 1923.

KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di nusantara. Ia ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Ia mendirikan Muhammadiyah bukan sebagai organisasi politik tetapi sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan.

Pada saat Ahmad Dahlan melontarkan gagasan pendirian Muhammadiyah, ia mendapat tantangan bahkan fitnahan, tuduhan dan hasutan baik dari keluarga dekat maupun dari masyarakat sekitarnya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut. 1)

Atas jasa-jasa KH Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional didasarkan pada empat pokok penting yakni: Pertama, KH Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.

Kedua, dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam. Ketiga, dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam. Keempat, dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.

Diasuh di Lingkungan Pesantren
Muhammad Darwisy lahir dari keluarga ulama dan pelopor penyebaran dan pengembangan Islam di tanah air. Ayahnya, KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta, dan ibunya, Nyai Abu Bakar adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.

Ia anak keempat dari tujuh orang bersaudara, lima saudaranya perempuan dan dua lelaki yakni ia sendiri dan adik bungsunya. Dalam silsilah, ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). 2)Idem

Silsilahnya lengkapnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH Abu Bakar bin KH Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).

Sejak kecil Muhammad Darwisy diasuh dalam lingkungan pesantren, yang membekalinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Pada usia 15 tahun (1883), ia sudah menunaikan ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Ia pun semakin intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Interaksi dengan tokoh-tokoh Islam pembaharu itu sangat berpengaruh pada semangat, jiwa dan pemikiran Darwisy.

Semangat, jiwa dan pemikiran itulah kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang, pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.

Setelah lima tahun belajar di Makkah, pada tahun 1888, saat berusia 20 tahun, Darwisy kembali ke kampungnya. Ia pun berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Lalu, ia pun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta.

Pada tahun 1902, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, sekaligus dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah hingga tahun 1904.

Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah, kemudian lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Pasangan ini mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991).

Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).

Mendirikan Muhammadiyah
Semangat, jiwa dan pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, yang diperolehnya dari Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, ibn Taimiyah dan lain-lain selama belajar Makkah (1883-1888 dan 1902-1904), kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).

Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang, pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.

Dahlan sendiri sadar bahwa semaangat pembaharuannya tidak akan serta-merta dapat dipahami dan diterima keluarga dan masyarakat sekitarnya. Tidak mudah melakukan pemharuan pada suatu sifat ortodoks yang sudah membeku. Maka, entah terkait atau tidak, ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri.

Bunyinya demikian: "Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).

Dalam artikel riwayat Ahmad Dahlan di situs resmi Parsyarikatan Muhammadiyah (muhammadiyah.or.id), pesan ini disebut menyiratkan sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah.

Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.

Dijelaskan dalam artikel itu, kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat Islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi. Perkumpulan, parsyarikatan dan gerakan dakwah: Muhammadiyah.

Dahlan pun memilih strategi yang amat baik dengan lebih dahulu membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, sekaligus meneruskan cita-citanya memajukan bangsa ini. Apalagi ia berkesempatan mengakselerasi dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah itu dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta. Karena, ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.

Tentu saja para calon pamongpraja tersebut dapat diharapkan mengaselerasi dan memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Begitu pula para calon guru akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, kepada murid-muridnya. Guna mengintensifkannya, Dahlan pun mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Di sekolah ini, Dahlan mengajarkan agama Islam dan menyebarkan cita-cita pembaharuannya.

Dahlan dikenal sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat. Dengan gagasan-gagasan cemerlang dan kegiatan kemasyarakatannya, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat. Termasuk dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Pada tahun 1912, tepatnya tanggal 18 Nopember 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam. Ia punya visi untu melakukan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits.

Berbagai tantangan ia hadapi sehubungan dengan gagasan pendirian Muhammadiyah itu. Bahkan ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Kiai palsu. Sampai ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar.

Dahlan teguh pada pendiriannya. Pada tanggal 20 Desember 1912, ia mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Tampaknya, Pemerintah Hindia Belanda ada kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Sehingga izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta
Namun, walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah.

Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).

Gagasan pembaharuan Islam, Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.

Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur'an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan, "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir".

Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).

Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Sebagai salah seorang keturunan bangsawan yang menduduki jabatan sebagai Khatib Masjid Besar Yogyakarta, ia mempunyai penghasilan cukup tinggi. Ia juga berkecimpung sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik.






Read more...

Mohammad Hatta

Photobucket

Nama: Dr Mohammad Hatta (Bung Hatta)

Lahir: Bukittinggi, 12 Agustus 1902

Wafat: Jakarta, 14 Maret 1980

Istri: Rahmi Rachim (alm)

Anak:
Meutia Farida
Gemala
Halida Nuriah
Gelar Pahlawan:
Pahlawan Proklamator RI tahun 1986

Pendidikan:
Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi, 1916
Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang, 1919
Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang) di Jakarta, 1921
Nederland Handelshogeschool di Rotterdam, Belanda (dengan gelar Drs), 1932

Kegiatan:
Bendahara Jong Sumatranen Bond, di Padang, 1916-1919
Bendahara Jong Sumatranen Bond, di Jakarta, 1920-1921
Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda, 1925-1930
Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, di Berlin, 1927-1931
Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), 1934-1935
Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang, April 1942
Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, Mei 1945
Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 7 Agustus 1945
Proklamator Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945
Wakil Presiden RI pertama, 18 Agustus 1945
Wapres merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, Januari 1948-Desember 1949
Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari ratu Juliana, 1949
Wapres merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet RIS, Desember 1949-Agustus 1950
Mengundurkan diri dari jabatan Wapres, 1 Desember 1956
Dosen di Sesko AD, Bandung, 1951-1961
Dosen di UGM, Yogyakarta, 1954-1959
Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi, 1969
Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila, 1975









Read more...

Mohammad Hatta Sang Proklamator

Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.

Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.

Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.

PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).

Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.

Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."

Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.

Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.

Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.

Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.

Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.

Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.






Read more...

Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei)

Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, ada baiknya kita mengingat kembali perjalanan sejarah bangsa kita, yang dimulai dengan lahirnya gerakan nasionalis pertama Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, hampir seratus tahun yang lalu. Pergerakan nasional ini dipimpin oleh Dokter Soetomo di Jakarta. Dengan dorongan dilahirkannya Boedi Oetomo ini, kemudian lahir beberapa organisasi yang dimotori oleh kalangan pelajar.Photobucket

Pada tahun 1912 lahir satu gerakan politik yang amat penting, yaitu Indische Partij yang dimpimpin oleh Douwes Dekker (Dr. Setiabudhi), R.M. Suwardi Suryaningrat dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Tahun 1913, partai ini dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemimpin-pemimpinnya ditangkapi dan kemudian dibuang dalam pengasingan.

Pada perkembangan berikutnya dari kalangan agamawan tidak ketinggalan mendirikan organisasi sosial keagamaan seperti Persyarikatan Ulama Majalengka (1911), Sarekat Islam, di tahun 1912, di bawah pimpinan Haji O.S. Tjokroaminoto bersama Haji Agus Salim dan Abdul Muis. Muhammadiyah (1912), Persatuan Islam (PERSIS) di Bandung (1923), Nahdlatul Ulama di Surabaya (1926), Persatuan Tarbiyah Islamiah di Candung Bukittinggi (1930), Persatuan Muslimin Indonesia di Padang Panjang (1932) dan lainnya.Organisasi sosial keagamaan dan organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar di atas menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern.

Berbekal sejarah di atas, sudah saatnya kita sebagai masyarakat Indonesia bersatu untuk membangun kembali negara yang yang kita cintai. Apalagi selama beberapa tahun belakangan ini terus-menerus diberikan cobaan dan musibah oleh Allah swt. Oleh karena itu, mari kita mulai hari Kebangkitan Nasional tahun ini dengan mengintrospeksi diri masing-masing. Mari kita perbaiki moral masing-masing diri kita dan juga moral masyarakat Indonesia secara keseluruhan, sehingga harapan kita, dengan moral masyarakat yang baik, maka negara kita yang tercinta ini akan menjadi baik pula.

Selain moral yang baik, yang tidak kalah penting adalah kita benahi sektor pendidikan di negara kita. Dengan momen hari Kebangkitan Nasional ini, mari kita memberikan andil dan solusi terbaik untuk membangun pendidikan Indonesia yang baik dan berkualitas. Karena dengan SDM yang bermoral baik, berakhlaq mulia serta berkualitas bangsa Indonesia bisa bangkit menjadi bangsa yang beradab dan bermartabat. Dirgahayu Kebangkitan Nasional !





Read more...

Sistem Pendidikan Nasional

Pelaksanaan pendidikan nasional berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

.: Jalur Pendidikan

Jalur pendidikan terdiri atas:

1. pendidikan formal,
2. nonformal, dan
3. informal.

Jalur Pendidikan Formal

Jenjang pendidikan formal terdiri atas:

1. pendidikan dasar,
2. pendidikan menengah,
3. dan pendidikan tinggi.

Jenis pendidikan mencakup:

1. pendidikan umum,
2. kejuruan,
3. akademik,
4. profesi,
5. vokasi,
6. keagamaan, dan
7. khusus.

Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Pendidikan dasar berbentuk:

1. Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat; serta
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.

Pendidikan menengah terdiri atas:

1. pendidikan menengah umum, dan
2. pendidikan menengah kejuruan.

Pendidikan menengah berbentuk:

1. Sekolah Menengah Atas (SMA),
2. Madrasah Aliyah (MA),
3. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
4. Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Perguruan tinggi dapat berbentuk:

1. akademi,
2. politeknik,
3. sekolah tinggi,
4. institut, atau
5. universitas.

Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.

Pendidikan Nonformal

Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Pendidikan nonformal meliputi:

1. pendidikan kecakapan hidup,
2. pendidikan anak usia dini,
3. pendidikan kepemudaan,
4. pendidikan pemberdayaan perempuan,
5. pendidikan keaksaraan,
6. pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
7. pendidikan kesetaraan, serta
8. pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Satuan pendidikan nonformal terdiri atas:

1. lembaga kursus,
2. lembaga pelatihan,
3. kelompok belajar,
4. pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
5. majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Pendidikan Informal

Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

.: Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:

1. Taman Kanak-kanak (TK),
2. Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk:

1. Kelompok Bermain (KB),
2. Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

.: Pendidikan Kedinasan
Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.

Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.

Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.

.: Pendidikan Keagamaan

Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

Pendidikan keagamaan berbentuk:

1. pendidikan diniyah,
2. pesantren,
3. pasraman,
4. pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

.: Pendidikan Jarak Jauh

Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.

Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.



.: Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus

Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

**Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Daftar Istilah

Pendidikan
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan nasional
Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Sistem pendidikan nasional
Keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Peserta didik
Anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Jalur pendidikan
Wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Jenjang pendidikan
Tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

Jenis pendidikan
Kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

Satuan pendidikan
Kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

Pendidikan formal
Jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pendidikan nonformal
Jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

Pendidikan informal
Jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Pendidikan anak usia dini
Suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan jarak jauh
Pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

Standar nasional pendidikan
Kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wajib belajar
Program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Warga Negara
Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masyarakat
Kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

Pemerintah
Pemerintah Pusat.

Pemerintah Daerah
Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.

Menteri
Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.





Read more...

foto BAKSOS

Pengikut

Indonesian Freebie Web and Graphic Designer Resources

  © Free Blogger Templates Nightingale by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP